Apa Itu NEET Dan Fenomenanya Di Jepang ???

Mungkin banyak diantara kita yang belum tahu apa itu NEET. NEET merupakan singkatan dari Not in Employment,Education, or Training. stilah itu muncul pertama kali di Inggris pada tahun 90-an yang ditujukan untuk para pengangguran berusia antara 16-18 tahun yang tidak mau bersosialisasi dalam masyarakat. Kemudian istilah ini menyebar ke berbagai negara maju lainnya termasuk negara Jepang, karena negara ini juga memiliki masalah yang serius dengan generasi mudanya yang tidak memiliki keinginan untuk bekerja.

Berbeda dengan di Inggris, para NEET di Jepang kebanyakan berusia produktif antara usia 15-34 tahun dimana status mereka di masyarakat tergolong sebagai orang yang tidak memiliki pekerjaan, tidak menikah dan tidak terikat studi atau pekerjaan rumah tangga. Di Jepang para NEET dikenal juga sebagai Mugyousha (orang yang tidak bekerja atau pengangguran). Anehnya, kalau NEET dinegara lain banyak terjadi di kalangan tidak mampu, justru NEET di Jepang terjadi pada kalangan orang yang ekonomi keluarganya mapan.

NEET ini berbeda dengan Freeter (istilah untuk pengangguran yang sedang berusaha untuk mencari pekerjaan tetap) atau Ronin (bekas pegawai pemerintah yang sedang menganggur), karena orang-orang yang tergolong sebagai NEET sama sekali tidak punya hasrat untuk bekerja. NEET mulai muncul di Jepang pada tahun 1997, bertepatan dengan krisis moneter. Saat itu ada sekitar 80 ribu anak muda yang sudah lulus sekolah namun memilih untuk menganggur tanpa melanjutkan kuliah atau mencari pekerjaan, padahal saat itu lapangan pekerjaan masih terbuka luas dan persaingan belum seketat sekarang ini.

Pada tahun 2000 angka itu mengalami peningkatan 5 kali lipat menjadi 400 ribu orang. Menurut penelitian ada 4 kategori NEET, yaitu:

1. Yankee Kata
Neet tipe ini ditujukan untuk orang yang lebih suka bersenang-senang dengan temennya daripada bekerja. Biasanya orang dengan tipe seperti ini mengantungkan hidupnya pada orang tuanya yang mapan sehingga sering disebut sebagai parasite freeter.

2. Hikikomori Kata (tipe penyendiri/mengurung diri)
Orang dengan tipe ini lebih suka enyendiri dan menarik diri dari pergaulan sosial. Di Jepang, NEET dengan tipe ini biasanya banyak mengurung diri di kamar dan menghabiskan waktunya dengan bermain internet. Dari ketiga tipe lainnya, NEET tipe ini biasanya banyak mengalami kebosananhidup dan banyak yang ditemukan mengakhiri hidupnya dengan bunih diri.

3. Tachisukumu Kata (tipe ragu-ragu)
Tipe seperti ini biasanya merupakan lulusan perguruan tinggi yang tidak bisa memutuskan masa depannya.

4. Tsumazuki Kata (tipe gagal)
Ditujukan untuk orang-orang yang pernah bekerja namun mengalami kegagalan dan sejak itu trauma sehingga tidak memiliki keinginan untuk bekerja kembali. Tipe ini juga ditujukan untuk orang yang gagal mendapatkan pekerjaan karena tidak punya kepercayaan diri.

Tahun 2003, jumlah populasi NEET di Jepang sudah mencapai 520 ribu orang dan diperkirakan jumlah itu akan mengalami kelipatan pada tahun 2010. Meningkatnya jumlah NEET ini menjadi masalah serius yang dibahas di pemerintahan Jepang, mengingat hal ini berdampak besar bagi perkembangan ekonomi dan sosial negara itu di masa mendatang. Untuk mengantisipasi bertambahnya NEET, pemerintah Jepang berupaya mengadakam program pelatihan khusus untuk para NEET bekerja sama dengan perusahaan pemerintah maupun swasta.

Lewat program tersebut para NEET diberikan pengarahan, konseling, dan pengenalan dunia kerja, bahkan mereka juga ditawarkan job training yang diharapkan bisa menumbuhkan rasa percaya diri mereka untuk terjun ke dunia kerja. Kalau ditinjau lebih jauh, sebenarnya lingkungan keluarga dan tempat kerja juga merupakan faktor pendukung yang menyebabkan sesorang menjadi NEET. Di Jepang sering kali dijumpai orang tua yang terlalu memanjakan atau over protected terhadap anaknya, sehingga anaknya menjadi terbiasa menggantungkan hidup pada orangtuanya. Di lain pihak perusahaan juga kadang lebih suka merekrut pegawai yang sudah berpengalaman atau memberikan “gap” berupa perbedaan honor antara pegawai tua dan pegawai baru muda yang tentunya menimbulkan persepsi negatif dan mengecilkan harapan pegawai muda.

Bila NEET tidak ditangani secara serius, bukan tidak mngkin Jepang yang dikenal sebagai negara maju Asia akan mengalami permasalahan perekonomian di masa mendatang. Apakah beberapa orang pengangguran di Indonesia Bisa disebut NEET juga?? Beberapa IYA, tapi tidak besar.

Sumber:

http://gugling.com

MEMAHAMI KEMISKINAN DI INDONESIA

Nama: armansyah

Kelas: 1ka24

Npm: 11111197

original posted  by  Jousairi Hasbullah

Analis Statistik Sosial

Kepala Biro Humas dan Hukum BPS-RIPersoalan kemiskinan di Indonesia senantiasa menjadi perdebatan. Angka yang disajikan kadang dipandang kurang sesuai dengan realitas yang dihadapi masyarakat. HarianRepublika, Rabu (5/1) melalui tajuknya yang berjudul “Angka dari Langit” memandang angka kemiskinan yang diklaim oleh pemerintah turun sebesar 1,5 juta orang kurang cocok dengan realita. ” Dari Jepara, enam bersaudara tewas akibat mengonsumsi tiwul”. “Di Bekasi, tak jauh dari Jakarta, kita masih menemukan anak-anak yang kekurangan gizi karena orang tua mereka tidak memiliki cukup uang,” demikian tulisRepublika. Bagaimana memahami angka kemiskinan ini dengan proporsional? Ini salah satu tantangan kita.

Tentang angka kemiskinan
Kemiskinan adalah sesuatu yang sangat multidimensional dan memang sulit untuk diukur. Kompleksitas itu kemudian oleh para ahli statistik disederhanakan, misalnya, dengan menganggapnya sebagai gejala ekonomi (economic poverty), gejala kualitas SDM (human poverty),atau gejala budaya (cultural poverty). Di antara banyak definisi yang ada, BPS menghitung kemiskinan sebagai gejala economic poverty yaitu ketidakmampuan dari sisi ekonomi yang diukur dengan pendekatan (proxy) pengeluaran makanan (equivalen 2.100 kkal per orang per hari), ditambah kemampuan memenuhi kebutuhan dasar nonmakanan (pendidikan, kesehatan dasar, fasilitas perumahan, dan sandang).Penduduk miskin di Indonesia adalah mereka yang nilai konsumsinya kurang dari nilai rupiah 2.100 kkal per orang per hari plus kebutuhan primer nonmakanan tersebut. Pendekatan ini sudah sangat umum diaplikasikan di banyak negara

Menurunnya angka kemiskinan makro di Indonesia adalah angka keadaan bulan Maret 2010 yang telah diumumkan oleh BPS pada Juli 2010. Penurunan itu memang tidak serta-merta sebagai jaminan bahwa tidak akan ada lagi orang yang kurang makan atau anak-anak yang kurang gizi. Walau penurunan angka kemiskinan terjadi, tetapi di sisi lain masih 31,02 juta penduduk Indonesia yang berada di bawah garis kemiskinan (headcount). 

Sangat mungkin bahwa kasus-kasus mengenaskan yang di beritakan Harian Republika ini memang merupakan bagian dari 31,02 juta orang yang miskin tesebut. Mengapa disebut mungkin, karena data yang dikeluarkan BPS pada rilis pada Juli 2010 tersebut menyajikan ukuran-ukuran lain yang dapat memperkaya pemahaman kita terkait mereka yang berada di bawah garis kemiskinan.

Ukuran lain itu, selain head count (persentase penduduk miskin) BPS juga mengumumkan Indeks Kedalaman Kemiskinan (poverty gab index/PGI) dan Indeks Keparahan Kemiskinan (poverty severity index/PSI). PGI adalah ukuran rata-rata kesenjangan pengeluaran setiap orang miskin dibandingkan besaran nilai dari garis kemiskinan. Semakin tinggi nilai indeknya menggambarkan semakin variatif jarak orang miskin tersebut dari rata-rata garis kemiskinan. Keadaan Maret 2010 menunjukkan bahwa PGI Indonesia sebesar 2,21 dan untuk orang miskin di desa sebesar 2,80. Artinya, masih sangat terbuka kemungkinan bahwa di antara mereka yang miskin di daerah perdesaan, masih banyak yang dalam keadaan sangat kekurangan.

Terkait indeks keparahan (PSI: poverty severity index) yang menggambarkan disparitas kemiskinan antarorang miskin itu sendiri menunjukkan angka 0,58 (total) dan 0,75 (untuk orang-orang miskin di daerah perdesaan). Angka ini bercerita pada kita bahwa walaupun sama-sama miskin, antarorang miskin di pedesaan ketimpangan pengeluaran mereka masih cenderung tinggi, walaupun telah juga mengalami penurunan ketimpangan dibandingkan tahun sebelumnya (0,82 untuk daerah perdesaan).

Dengan informasi ini semakin menguatkan dugaan bahwa walaupun angka kemiskinan menurun, tetapi kemungkinan, masih banyak mereka yang sangat miskin dan membutuhkan pertolongan. Tajuk Republika tidak sepenuhnya keliru terkait keberadaan mereka yang dalam kemiskinan, tetapi kurang proporsional untuk mengatakan “Angka dari Langit” karena justru data kemiskinan BPS telah memberikan sinyal itu secara jelas. Lebih dari itu, angka kemiskinan dibangun dari survei skala besar, Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) yang diselenggarakan setiap tahun dengan cakupan seluruh wilayah Indonesia.

Satu hal yang perlu diperkaya agar pembaca terbantu dalam memahami secara lebih baik persoalan data kemiskinan, yaitu terkait pernyataan yang mengatakan bahwa angka kemiskinan kita akan lebih tinggi (dua kali lipat) jika menggunakan standar Bank Dunia sebesar satu dolar per hari (Rp 9 100). Pernyataan ini agak melenceng. Ukuran dolar yang digunakan Bank Dunia adalah dolar dalam pengertian Purchasing Power Parity (PPP). Nilai satu dolar PPP yang disebutkan Bank Dunia itu equivalen dengan Rp 3.240 (tiga ribu dua ratus empat puluh rupiah). Justru kalau Indonesia memedomani angka satu dolar PPP tersebut, maka angka kemiskinan di Indonesia hanya sebesar 7,4 persen saja.

Tantangan kita
Salah satu tantangan kita bersama yang cukup penting untuk dikaji lebih dalam saat ini adalah bagaimana menelusuri dengan pemahaman yang lebih cermat makna-makna yang ada di balik suatu angka. Statistik selalu memperkaya dirinya dengan metodologi yang terukur dan bentangan makna dari setiap konsep yang diadopsi.

Persoalan interpretasi data statistik memang masih menyisakan tantangan yang tidak kecil. Ini juga menggejala di banyak negara. Seperti dikatakan oleh Enrico Giovannini, kepala Divisi Statistik OECD (Organisation for Economic Co-operation and Development) bahwa di tengah arus informasi (termasuk informasi statistik) yang begitu gencar, salah satu tantangan besar dunia sekarang ini bukan terletak pada kualitas data statistik saja, melainkan bagaimana kita menghindari opini yang keliru dalam menginterpretasikan data statistik itu sendiri.

Opini Republika 6 Januari 2011

SUMBER : http://artikel-media.blogspo